GURU PAI SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER
SISWA
Menurut Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Sedangkan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan, Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik
dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui
mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan
agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya
dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dalam UUSPN 2003 Pasal 13 Ayat 1 huruf a, “Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama
sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Dengan
mengacu pasal ini, pesan edukasi yang diharapkan agar pendidikan mampu
melahirkan out put yang beriman-bertakwa (sesuai dengan ajaran agama
yang diyakini), berakhlak mulia serta memiliki kualitas intelektual yang
tinggi.[1]
Pendidikan Islam seyoginya menjadi sarana pembentuk
situasi “berpengetahuan” dan berakhlak mulia. Pendidik mengarahkan peserta
didik untuk menemukan bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan
kebutuhan masa depannya yang pasti berbeda dengan lingkungan dan persoalan yang dialaminya.
Bagi Abduh, pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang dalam prosesny mampu mengembangkan seluruh fitrah peserta didik,
terutama fitrah akal dan agamanya. Dengan fitrah, peserta didik
akan mengembangkan daya berpikir secara rasional. Sementara melalui fitrah agama,
akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang terimplikasi
dalam seluruh aktivitas hidupnya.
Menurut Al-Syaibani[2],
pelaksanaan pendidikan Islam seyoginya lebih menekankan pada aspek agama dan
akhlak, disamping intelektual. Penekanannya bersifat menyeluruh dan
memerhatikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik sesuai dengan dinamika perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat dimana pendidikan itu dilaksanakan.
Dari keterangan di atas maka sangatlah dibutuhkan
guru PAI yang mampu menjadi suri tauladan yang baik yang dapat membentuk
karakter siswa, terutama karakter yang baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi kedua 1991, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya) mengajar. Kata guru dalam bahasa Arab disebut mu’allim dan
dalam bahasa Inggris teacher, memiliki arti sederhana, yakni A person
whose occupation is teaching other (McLeod, 1989). Artinya, guru ialah
seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.
Jadi, guru terutama guru PAI sebagai pelaksanaan pendidikan
Islam yang menurut Al-Syaibani lebih menekankan pada aspek agama dan akhlak,
disamping intelektual bisa dikatakan guru PAI sebagai
pembentuk karakter siswa karena aspek agama dan akhlak adalah
landasannya karakter seseorang.
Sumber:
Nizar, Samsul. 2007, Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Syah, Muhibbin. 2011, Psikologi
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
[1] Namun sayangnya, konsep ideal
yang termaktub dalam UUSPN tersebut tidak terjabarkan dalam kebijakan yang
konkret. Untuk menetukan keberhasilan dalam UAN umpamanya pendidikan agama
seyoginya menjadi acuan pokok yang menetukan kelulusan seseorang peserta didik.
[2] Omar Muhammad al-Toumy
al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.503.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar