Minggu, 12 April 2015

GURU PAI SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER SISWA



GURU PAI SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER SISWA
Menurut Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dalam UUSPN 2003 Pasal 13 Ayat 1 huruf a, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Dengan mengacu pasal ini, pesan edukasi yang diharapkan agar pendidikan mampu melahirkan out put yang beriman-bertakwa (sesuai dengan ajaran agama yang diyakini), berakhlak mulia serta memiliki kualitas intelektual yang tinggi.[1]
Pendidikan Islam seyoginya menjadi sarana pembentuk situasi “berpengetahuan” dan berakhlak mulia. Pendidik mengarahkan peserta didik untuk menemukan bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan masa depannya yang pasti berbeda dengan lingkungan  dan persoalan yang dialaminya.
Bagi Abduh, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesny mampu mengembangkan seluruh fitrah peserta didik, terutama fitrah akal dan agamanya. Dengan fitrah, peserta didik akan mengembangkan daya berpikir secara rasional. Sementara melalui fitrah agama, akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang terimplikasi dalam seluruh aktivitas hidupnya.
Menurut Al-Syaibani[2], pelaksanaan pendidikan Islam seyoginya lebih menekankan pada aspek agama dan akhlak, disamping intelektual. Penekanannya bersifat menyeluruh dan memerhatikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik  sesuai dengan dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat dimana pendidikan itu dilaksanakan.
Dari keterangan di atas maka sangatlah dibutuhkan guru PAI yang mampu menjadi suri tauladan yang baik yang dapat membentuk karakter siswa, terutama karakter yang baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua 1991, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Kata guru dalam bahasa Arab disebut mu’allim dan dalam bahasa Inggris teacher, memiliki arti sederhana, yakni A person whose occupation is teaching other (McLeod, 1989). Artinya, guru ialah seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.
Jadi, guru terutama guru PAI sebagai pelaksanaan pendidikan Islam yang menurut Al-Syaibani lebih menekankan pada aspek agama dan akhlak, disamping intelektual bisa dikatakan guru PAI sebagai pembentuk karakter siswa karena aspek agama dan akhlak adalah landasannya karakter seseorang.

Sumber:
Nizar, Samsul. 2007, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Syah, Muhibbin. 2011, Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya



[1] Namun sayangnya, konsep ideal yang termaktub dalam UUSPN tersebut tidak terjabarkan dalam kebijakan yang konkret. Untuk menetukan keberhasilan dalam UAN umpamanya pendidikan agama seyoginya menjadi acuan pokok yang menetukan kelulusan seseorang peserta didik.
[2] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.503.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar