Minggu, 26 April 2015

Makalah Aqidah Tentang Takdir



PENDAHULUAN
Pengertian Taqdir
Yang dimaksud dengan istilah taqdir adalah Qadar (Al-Qadar khairuhu wa syarruhu) atau Qadha’ (Al-Qadha’ wa-Qadar). Secara etimologis Qadha’ adalah bentuk mashdar dari kata kerja qadha yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini Qadha’ adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah SWT terhadap segala sesuatu.
Secara etimologis Qadar adalah bentuk mashdar dari qadara yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini Qadar adalah ukuran atau ketentuan Allah SWT terhadap segala sesuatu. Secara terminologis ada Ulama yang berpendapat kedua istilah itu sama dan berbeda. Ulama yang berpendapat sama, mendefinisikan sebagai berikut “ Segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi.” Sedangkan yang membedakan mendefinisikan Qadar sebagai: “Ilmu Allah SWT tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhuk-Nya pada masa yang akan datang”. Dan Qadha’ adalah:” Penciptaan segala sesuatu oleh Allah SWT sesuai dengan Ilmu dan Iradah-Nya.”
Pengertian di atas sejalan penggunaan kata Qadar di dalam Al-Qur’an yang pada umumnya mengandung pengertian kekuasaan Allah SWT untuk menentukan ukuran, susunan, aturan, undang-undang terhadap segala sesuatu; termasuk hukum sebab dan akibat yang berlaku bagi segala yang maujud, baik makhuk hidup maupun mati. Sebagai contoh dalam Q.S:
a.       Ar-Ra’ad ayat 8
وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ
“ Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”
b.      Al-Hijr ayat 21
 وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلاَّ عِندَنَا خَزَآئِنُهُ وَمَانُنَزِّلُهُ إِلاَّ بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya;dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
c.       Al-Qamar ayat 49
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
d.      At-Thalaq ayat 3
إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Sesungguhnya  Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Taqdir Allah adalah merupakan rahasia yang tersembunyi, yang tidak ada seorang pun dapat mengetahuinya sebelum terjadinya/jatuhnya taqdir itu sendiri. Ia berada di luar kehendak seseorang untuk mengerjakannya. Seseorang baru mengetahui terjadinya taqdir tersebut ketika taqdir itu telah dilewatinya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu sama sekali tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah.
Dalam menghadapi taqdir, Rasulillah SAW menuntunkan kepada setiap muslim agar ia dihadapinya dengan penuh keridlaan dan keikhlasan. Syekh Muhammad bin Jamil Zeno memberikan nasehat agar setiap muslim harus berkeyakinan bahwa segala kebaikan dan keburukan terjadi menurut taqdir Allah dan kehendak-Nya, serta diketahui dengan ilmu-Nya. Namun menjalankan perbuatan baik dan buruk itu timbul atau pilhan hamba-Nya sendiri, sedang memperhatikan perintah dan larangan-Nya adalah wajib bagi seorang hamba. Oleh karenaitu ia tidak boleh berbuat maksiat dengan dalih bahwa yang demikian itu sudah ditaqdirkan oleh Allah.
PEMBAHASAN
Munculnya Beberapa Firqah Dalam Islam
Diakui oleh para ulama bahwa persoalan qadha’ dan qadar merupakan persoalan yang paling sulit difahami dibandingkan dengan lima prinsip Islam lainnya. Oleh karena itu persoalan sekitar qadha’ dan qadarini tidak pernah habis-hsbisnya dibicarakan orang sampai saat sekarang ini, dan di antara mereka tidak pernah ada kesepakatan pendapat, yang semua itu terjadi karena adanya berbagai masalah “keterpaksaan dan kebebasan”.

Sebagaimana diketahui bahwa ada beberapa ayat Al-Qur’an yang kelihatannya secara lahiriyah saling bertentangan satu sama lain. Di satu sisi ada beberapa ayat yang menggambarkan betapa manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali, seperti yang tergambar dalam ayat berikut:

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللهَ قَتَلَهُمْ وَمَارَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
“Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Q.S Al-Anfal: 17).

إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak memberi perunjuk kepada orang yang paling kamu cintai, akan tetapi Allah (sendirilah) yang akan memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (Al-Qashah: 56)
           
            Sementara di lain pihak ada beberapa ayat yang menggambarkan bahwa manusia memiliki kebebasan yang sangat luas, sebagai ayat-ayat berikut:

إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ...
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah diri mereka sendiri” (Ar-Ra’du: 11)

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
“Dan katakanlah “kebeneran itu datangnya dari Tuhan kalian; maka siapapun yang ingin (beriman) biarlah beriman, dan siapapun yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Al-Kahfi: 29).
           
            Dalam menghadapi masalah qadha’ dan qadar ini secara garis besarnya umat Islam terpecah menjadi dua aliran besar (firqah),yaitu firqah Qadariyah (Indeterminist), atau yang lebih terkenal dengan aliran Mu’tazilah dan firqah Jabariyah murni (determinist).

Firqah Mu’tazilah
            Aliran Qadariyah muncul pada akhir abad I Hijriyah di Irak pendirinya adalah Ma’bah Al-Jauhani Al-Bisri. Dalam perkembangannya, aliran qadariyah ditetapkan sebagai aliran sesat. Dan para pengikutnya dihukumi sebagai orang kafir. Qadariyah adalah pekerjaan orang-orang Yahudi, dengan tujuan merusak aqidah islam, maka aliran qadariyah tidak berkembang dan segera lenyap setelah pemimpinnya dibunuh oleh Abdul malik bin Marwan.
           
           

Aliran Qadariyah memahami dengan salah firman Allah Q.S Al-Israa’: 7
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ اْلأَخِرَةِ لِيَسُوئُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَاعَلَوْا تَتْبِيرًا
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”
           
            Kritikan terhadap pendapat aliran qadariyah ini: jika semua perbuatan manusia mutlak diciptakan atas qadrat dan iradat manusia sendiri, lantas dimana letak sifat Allah yang maha pencipta, memelihara dan mengendalikan seluruh mahkluknya? Jika Allah dianggap dianggap tidak ikut campur dan tidak pula mengetahui, ini sama halnya mengingkari bahwa Allah memiliki sifat maha melihat dan maha mengetahui. Ini sama halnya mentiadakan eksistensi Allah SWT dengan kata lain tidak mempercayai keberadaan Allah sebagai Tuhan.

Aliran Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian:
a.       Perbuatan yang timbul dengan sendirinya, seperti gerakan refleks dll. Perbuatan ini jelas bukan diadakan manusia atau terjadi dengan sendirinya.
b.      Perbuatan-perbuatan bebas, dimana manusia bias melakukan pillihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan (khalq) manusia daripada dikatakan diciptakan Tuhan, karena adanya alas an-alasan akal fikiran dan syara’.

Alasan-alasan akal fikiran (dalil ‘aqliyah):
1.      Kalau perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sebagaimana yang dikatakan aliran Jabariyah, maka apa perlunya ada taklif (perintah/beban hukum) pada manusia?
2.      Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia dapat mengerjakan atau tidak dapat mengerjakan yang baik atau yang buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.

Alasan-alasan Syara’ (dalil naqliyah)
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada sesuatu bangsa , sehingga mereka itu sendiri yang merubah apa yang ada pada dirinya” (Ar-Ra’d : 11).

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شّرًّا يَرَهُ
 “Siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar atom ia akan melihatnya, dan siapapun yang mengerjakan keburukan sebesar atom ia akan melihatnya” (Az-Zalzalah : 8).

مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَبِهِ
“Siapa yang mengerjakan keburukan, akan dibalas dengan keburukan” (An-Nisa’ : 123)

فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
“Barangsiapa yang suka (beriman) hendaklah beriman, dan barangsiapa yang ingin (kufur) biarlah ia kufur” (Al-Kahfi : 29).

Masih ada ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa manusia dapat berbuat baik atau buruk. Ayat tersebut lebih tegas menetapkan adanya perbuatan manusia, dan ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya, bukan orang lain.

Demikian juga ayat-ayat ihtiyar justru lebih banyak jumlahnya daripada ayat-ayat jabar, di samping ayat-ayat lainnya yang mengumpulkan jabar dan ihtoyar, sehingga orang tidak perlu menekankan segi ihtiyar saja atau jabar saja.

Pandangan Mu’tazilah tentang manusia yang diberi kebebasan kehendak dan kebebasan memilih (free will and free choice atau masyi-ah) sejalan dengan pandangan Abul A’lal-Maududi.

Maududi menyatakan bahwa Allah telah memberikan otonomi kepada manusia dalam bentuk  ‘mukhayyar atau kebebasan memilih. Manusia diberi kebebasan memilih, apakah ia akan mengikuti atau tidak mengikuti jalan Allah itu. Dengan dimilikinya kebebasan memilih, ia bebas untik mengakui atau tidak mengakui realitas dari segala sesuatu itu. Manusia bias menganggap dirinya sendiri bebas dari segala kewajiban terhadap Tuhan, dan boleh berpikir bahwa ia memiliki hak dak kekuasaan penuh atas segala yang dimiliki, dan bebas, mempergunakan menurut keinginannya sendiri tanpa terikat pada suatu perintah siapa pun.

Aliran Qadariyah bisa ditunjukkan dengan dalil syara’ dan akal. Adapaun dalil syara’, bahwa Allah pencipta segala sesuatu, dan semua terjadi atas kehendak-Nya. Allah menjelaskan bahwa amal perbuatan hamba-Nya bias terjadi dengan kehendak-Nya. Allah SWT berfirman,
وَلَوْشَآءَ اللهُ مَااقْتَتَلَ الَّذِينَ مِن بَعْدِهِم مِّن بَعْدِ مَاجَآءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُم مَّنْ ءَامَنَ وَمِنْهُمْ مَّن كَفَرَ وَلَوْشَآءَ اللهُ مَااقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah Rasul-rasul itu, sesudah dating kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya” (Al-Baqarah: 253).

وَلَوْشئِنْاَ لأَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّى لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah Perkataan daripadaKu, “Sesungguhnya akan aku penuhi neraka Jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (As-Sajdah: 13).
           
            Adapun dalil akal adalah bahwa semua makhluk adalah milik Allah, dan manusia termasuk bagian dari ala mini, sehingga diapun adalah milik Allah, dan tidak ada seorang pun yang bisa menggunakan milik Allah kecuali dengan izin dan kehendak Allah
           
            Qadariyah adalah pengikut Ma’ad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi, serta pengikut Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid dari Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan hamba itu bukan ciptaan Allah, tetapi hambalah yang menciptakan perbuatan tersebut. Menurut mereka, dosa yang terjadi bukanlah terjadi dengan kehendak Allah.
           
            Bahkan kalangan fanatiknya mengingkari bila Allah telah mengetahuinya. Mereka mengingkari kehendak-Nya yang menyeluruh dan kekuasaan-Nya yang terlaksana. Karena itu, mereka dinamakan dengan “Majusinya” umat ini, karena mereka serupa dengan Majusi yang mengatakan bahwa alam semesta mempunyai dua Tuhan: Tuhan cahaya, sebabgai pencipta kebaikan, dan Tuhan kegelapan, sebagai pencipta keburukan. Qadariyah menjadikan sekutu bagi Allah, bahkan banyak sekutu dalam ciptaan-Nya. Mereka menyangka bahwa hamba menciptakan perbuatan mereka, dan mereka berargumen secara keji dengan sebagian ayat-ayat, sebagaimana dengan firman-Nya:
            لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
            “(Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus” (At-   Takwir : 28)
           
            Dan mereka menakwilkan (dengan takwil yang bathil) ayat yang lainnya yang     menyelisi pendapat mereka, sebagaimana terhadap firman-Nya:
           
وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

           
            “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila         dikehendaki Allah, Rabb semesta alam” (At-Takwir: 29)



Firqah Jabariyah
      Firqah ini ditokohi oleh Jahm bin Safwan, yang berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia, baik  yang bersifat reflektif ataupun perbuatan yang disadari dan yang disengaja hakekatnya bukan dia yang melakukannya, akan tetapi semua itu digerakkan oleh Allah. Hal itu dikarenakan manusia tidak memiliki kebebasan kehendak dan kebebasan memilih (mukhayyar) sama sekali.

Aliran Jabariyah muncul pada akhir abad ke I hijriah di Khurasan. Kemunculannya hampir bersamaan (setelah) aliran qadariyah. Sebagian pengikut Jabariyah dahulunya adalah aliran Mu’tazilah, yang dikenal sebagai aliran yang mendewakan-dewakan akal pikiran manusia, bahkan kebenaran Al-Qur’an pin harus tunduk di bawah kebenaran menurut akal. Mungkin hal itulah yang menyebabkan Jahm bin Safwan keluar dari Mu’tazilah dan mendirikan aliran Jabariyah.

Manusia diibaratkan bagaikan bulu yang ditiup angin atau seperti gambaran wayang kulit, kedua-duanya bergerak karena ada yang menggerakkan dari luar, yaitu angin atau ki dalang. Kalau dikatakan manusia dapat berbuat, maka lahiriyah yang bergerak, persis batu yang jatuh dari atas atau mobil yang sedang berjalan.
           
            Sebenarnya ayat-ayat yang kelihatannya secara lahiriyah menggambarkan manusia tidak memiliki ihktiyar sama sekali seperti di atas bisa ditakwilkan, sehingga tidak perlu meninggalkan ayat-ayat lain yang berlawanan dengan ayat-ayat tersebut di atas.
           
            Setelah diteluusri sejarahnya ternyata Jahm bin Safwan terpengaruh oleh pendapat Ghailan al-Dimasqi. Ia dipengaruhi oleh orang Yahudi Syam yang ingin menghancurkan aqidah islam, Ghailan al Dimasqi akhirnya dibunuh oleh Hisam bin Abdul Malik.

            Aliran Jabariyah memahami Q.S Al-Qashash: 68 yang dijadikan landasan berfikirnya secara salah:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَآءُ وَيَخْتَارُ مَاكَانَ لَهُمُ الْخِيرَةُ سُبْحَانَ اللهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).”
           
            Mengkritiksi pendapat aliran Jabariyah: Aliran Jabariyahlebih sesat dan berbahaya daripada aliran qadariyah, Jabariyah mendorong umat menjadi lemah dan malas yang menjadi penyebab bodoh dan miskin, dimana manusia yang diberi amanah menjadikhalifah di muka bumi, untuk itulah manusia diberi akal dan bumi serta kebebasan dalam berusaha. Jika segala perbuatannya yang benar maupun yang salah merupakan paksaan-paksaan dari Allah. maka dimana letak tannggung jawab manusia bahwa segala perbuatannya akan dimintai pertanggung jawabannya baik dihadapan sesama manusia dan di hadapan Allah kelak.

            Hal ini mungkin bentuk ketidak berdayaan serta keputusan orang0orang ahli maksiat dan dosa lantas dengan melimpahkan kesalahan-kesalahannya kepada Tuhan. Pendapat yayng sesat ini telah banyak menimpa kebanyakan umat islam sehingga mereka tidak mau mengerjakan aktifitas yang mulia maupun yang bermanfaat, sehingga mereka menjadi lemah dan hina serta berputus asa.
           
            Terkadang kita masih banyak melihat umat islam yang malas dan berpuus asa  sehingga menjadi bodoh dan miskin hidupnya di dunia kemudian ia menyembunyikan sifat malas dan keputusasaannya itu dibalik takdir Allah. Dengan ungkapan ”Kami seperti ini (lemah, hina, bodoh, dan miskin) sudah merupakan takdir Allah”. Tanpa mau introspeksi atau mencari penyebab yang akan dijadikan sebsgsi dasar untuk merubah keadaannya.
           
            Pemahaman firqah Jabariyah jelas sesat ini berdasarkan syara’ dan realitas. Adapun dalil syara’ adalah sebagai berikut:
1.      Allah sendiri yang menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak dan kemampuan untuk memilih, Allah juga menisbatkan apa yang dilakukan manusia kepada diri mereka, Allah SWT berfirman,
مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ اْلأُخِرَةَ
      Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (Al-Imron: 152)

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَآءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا
      “Dan Katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al-Kahfi: 29)

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kalitidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (Fushshilat: 46).

2.      Adapun dalil realitas adalah bahwa semua orang pasti bias membedakan antara tindakan yang dilakukan atas dasar kemauan dan pilihan sendiri seperti makan, minum, melakukan akad jual beli dan sebagainya, dengan tindakan yang tidak sengaja misalnya menggigil ketika mengalami demam, atau jatuh dari atap rumah misalnya. Yang pertama dilakukan atas dasar keinginan dan pilihan sendiri tanpa ada paksaan, sedangkan yang kedua terjadi bukan atas dasar keinnginan dan kesengajaan.

Firqah Jabariyah menuduh Allah sebagai pihak yang zhalim, membebani para hamba dengan apa yang mereka tidak sanggupi, dan membalas mereka atas apa yang bukan dari perbuatan mereka sendiri. Mereka menuduh-Nya sia-sia dalam membebani hamba, dan mereka membatalkan hikmah perintah dan larangan. Ketahuilah, betepa buruknya apa yang  mereka putuskan.

Mereka Jabariyah disebut juga Qadariyah Musyrikiyyah, karena mereka menyerupai kaum musyrik dalam ucapan mereka:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَآءَ اللهُ مَآأَشْرَكْنَا وَلآءَابَآؤُنَا
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya.” (Al-An’aam: 148)

Ucapan mereka ini jelas kacau dan bathil. Telah disebutkan bantahan atas mereka, ketika membicarakan mengenai, bahwa iman kepada qadar tidak menafikan bila hamba mempunyai kehendak dalam perbuatan-perbuatan yang disadarinya (yang menjadi pilihannya), juga ketika membicarakan tentang berdalih dengan takdir atas kemaksiatan.

Kehendak (Masyi’ah) Allah
            Menurut Abu Bakar al-Jazairi Allah itu dibedakan menjadi dua yaitu:
1.      Kehendak penciptaan (iradah kauniyah), yaitu takdir yang tidak berkaitan dengan hukum taklif (perintah dan larangan) bagi manusia, pahala dan dosa. Kehendak Allah inilah yang berkaitan dengan takdir dan sistemnya, yang tiada hak bagi manusia untuk memandangnya selain dengan ridha dan tawakal. Terhadap kehendak Allah dalam penciptaan (iradah kauniyah) ini Allah tidak menjadikan manusia memiliki kemampuan sama sekali unuk keluar daripadanya, atau menolaknya.

Sebab kehendak  Allah dalam penciptaan ini tidak berkaitan dengan perbuatan manusia yang bernuansa kehendak dan pemilihan yang merupakan taklif dan balasan kecuali bila Allah menghendakinya pada masa azali, dimana hal itu berlaku bagi keumuman kehendak-Nya sehingga alam semesta tidak akan keluar darnya. Sebagai contoh manusia tidak memiliki kemampuan kemampuan untuk menolak takdir-Nya seperti, apakah manusia dapat menolak kehadirannya sebagai laki-laki atau perempuan, berkulit hitam atau putih, pendek atau tinggi. Hal-hal seperti ini tidak dapat dihindari karena berkaitan dengan sistem penciptaan, tanda-tanda kemutlakan rububiyah dan uluhiyah Allah SWT.

2.      Kehendak Allah dalam hukum (iradah syar’iyah), yaitu kehendak Allah yang berkaitan dengan taklif (perintah dan larangan) kepada manusia, yang berhubungan dengan masalah pahala dan siksa. Dalam kaitannya dengan kehendak Allah yang kedua ini Allah tidak memaksakan kehendak-Nya, bahakan sebaliknya Allah memberikan kebebasan untuk memillihnya, apakah manusia bersedia melaksanakan perintah-Nya atau justru menentangnya.

Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah: 256
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dan berdasarkan pilihan bebasnya tersebut maka akan berlaku balasan pahala bagi  mereka perintah Allah dan balasan siksa bagi mereka yang ingkar terhadap perintah Allah.

(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.(At-Takwir: 28-29)

            Tegasnya iradah kauniyah berhubungan langsung dengan takdir yang manusia sama sekali tidak memiliiki kemampuan untuk menolak atau mengubahnya.
           
            Mencermati terhadap iradah Allah seperi di atas kalaupun kemudian dihubung-hubungkan dengan kedua aliran/firqah di atas dapat dinyatakan bahwa faham Jabariyah dapat dikatakan tepat dalam hubungannya dengan iradah kauniyah. Seperti seseorang harus mnerima takdir Allah ia dilahirkan sebagai pria, atau berkulit hitam, atau berbadan kerdil, bermata juling dan sebagainya. Sebaliknya faham Jabariyah tidak tepat dalam hubungannya dengan iradah syar’iyah, dimana dengan berlindung di balik kekuasaan Allah ia melakukan perbuatan dosa, seperti mencuri atau berzina dan sebagainya.
                       
            Faham Mu’tazilah dapat diterima dalam hubungannya dengan iradah syar’iyah, dimana manusia bisa memilih, apakah ia akan beriman ataukah ia akan kufur terhadap Allah sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Allah:
فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) silahkan beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Al-Kahfi: 29)
           
            Tetapi faham Qadariyah ini secara tegas tertolak dalam hubungannya dengan iradah kauniyah. Sebab manusia sama sekali tidak mampu untuk memilih apakah ia lahir sebagai bayi laki-laki ataukah bayi perempuan, manusia tidak bisa memilih apakah ia berhidung mancung atau berhidung pesek, bertubuh jangkung ataukah bertubuh pendek.



Kisah Tentang
Qadariyah dan Jabariyah
            Berikut kisah tentang masalah Qadariyah dan Jabariyah:
1.      Unta orang Badui dicuri, lalu orang itu datang ke halaqah ‘Amr bin ‘Ubaid, salah seorang pemuka Mu’tazilah, dan salah seorang yang berpendapat dengan pendapat Qadariyah. Badui tersebut berkata kepada ‘Amr, “Untaku dicuri, maka berdo’alah  kepada Allah agar Dia mengembalikannya kepadaku.

      ‘Amr berkata, “Ya Allah, unta orang miskin ini dicuri, dan Engkau tidak menghendaki pencuriannya. Ya Allah, kembalikanlah kepadanya.”

      Mendengar itu, Badui tersebut berkata,”Aku tidak membutuhkan do’amu.” ‘Amr bertanya,”Mengapa?” Ia menjawab,”Aku takut sebagaimana Dia menghendaki agar unta itu tidak dicuri tapi dicuri, lalu Dia hendak mengembalikkannya tapi tidak dikembalikan!”

2.      Al-Qadhi ‘Abduljabar al-Hamdani, salah seorang tokoh Mu’tazilah, menemui ash-Shahib bin ‘Ibad, sedang di sisinya ada Abu Ishaq al-Asfarayani, salah seorang imam Sunnah. Ketika ia melihat al-Ustadz (Abu Ishaq), ia mengatakan,”Mahasuci Dzat Yang suci dari kekejian. “Maka Ustadz mengatakan,”Mahasuci Dzat Yang tidak ada yang terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan sesuatu yang dikehendaki-Nya.”Al-Qadhi bertanya,”Apakah Rabb kita berkeinginan untuk didurhakai dengan keterpaksaan?” Al-Qadhi berkata,”Apa pendapatmu, ketika Dia menghalangi petunjuk kepadaku dan menentukan kehinaan atasku, apakah Dia berbuat kebaikan kepadaku ataukah berbuat keburukan?” Al-Ustadz menjawab,”Jika Dia menghalangimu terhadap apa yang menjadi milikmu, maka Dia berbuat keburukan.
Tapi jika Dia menghalangimu dari apa yang menjadi milik-Nya, maka Dia mengkhususkan dengan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” Akhirnya, al-Qadhi ‘Abduljabbar terdiam seribu kata.

3.      Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’di menyebutkan dalam ad-Durrah al-Bahiyyah sejumlah contoh yang menyingkap masalah masalah qadha dan qadar, di antara contoh-contoh tersebut ialah kisah seorang jabari (pengikut jabariyah). Beliau menuturkan: Ada seseorang yang berlebih-lebihan dalam jabr  dan qadar. Ia selalu berdalih dengan qadar dalam segala yang mulia dan yang hina, hingga keadaan tersebut membawanya kepada kerusakan dan melakukan berbagai macam kemaksiatan. Setiap kali dinasihati dan dicela atas perbutan-perbuatannya, maka ia menjadikan qadar sebagai dalih baginya dalam segala keadaannya.

      Ia mempunyai sahabat yang selalu mengkritiknya dan menasihatinya tentang pernyataan yang menyelisihi akal, wahyu dan kenyataan ini. Tapi kritik itu hanya semakin menambah kesesatannya. Sahabatnya ini menunggu kesempatan untuk memojokkannya dalam perkara-perkara yang khusus yang bertalian dengannya.
      Jabari ini orang berharta yang memiliki harta bermacam-macam. Ia mempekerjakan banyak pekerja untuk mengurusi harta kekayaammya. Tiba-tiba, tidak lama kemudian, orang mengurus ternak datang kepadanya seraya mengatakan, “Qadha Allah dan qadarnya. “Ia yang amarah sebelum itu menjadi semakim marah karena mendengar perkataan ini. Amarahnya bergejolak, dan ia (penembala) nyaris mati karena alasan ini.

      Yang mengurus harta perniagaan datang kepadanya seraya mengatakan,”Aku melewati jalan yang menakutkan itu, lalu pembegal (para perampok dan penyamun) merampok semua harta.” Dia mengatakan kepadanya,”Bagaimana kamu melewati jalan yang menakutkan itu, padahal kamu tahu bahwa jalan tersebut menakutkan, dan meninggalkan jalan yang aman yang tidak diragukan keamananya?”

      Kemudian orang yang ditugasi untuk merawat dan menjaga anak-anaknya datang kepadanya seraya mengatakan,”Aku memerintahkan kepada mereka supaya turun di sumur tertentu, agar mereka belajar berenang, lalu mereka tenggelam.” Dia bertanya,”Mengapa kamu melakukan demikian, sedangkan kamu tahu bahwa mereka tidak dapat berenang dengan baik? Sumur yang engkau sebutkan bukankah engkau ketahui bahwa sumur itu dalam? Lalu mengapa engkau membiarkan mereka turun sendirian dan engkau membiarkan mereka turun sendirian dan engkau tidak beserta mereka.

      Ia menjawab,”Demikianlah qadha’ Allah qadar-Nya.”

      Mendengar hal itu ia sangat marah melebihi kemarahan terhadap dua orang sebelumnya. Kemarahan ini nyaris membunuhnya. Masiing-masing dari mereka yang ditugaskan atas apa yang telah kami sebutkan semakin menambah kemarahannya, ketika masing-masing mengatakan kepadanya,”Ini qadha’ Allah dan qadar-Nya.” Ketika itulah sahabatnya berkata kepadanya,”Mengherankan kamu ini, wahai fulan! Bagaimana engkau menghadapi orang-orang tersebut kemarahan yang sedemikian ini, dan engkau tidak menerima alasan mereka ketika mereka beralasan dengan qadar, bahkan alasan ini semakin menambah kesalahan mereka di sisimu. Sementara kamu, terhadap Rabb-mu dalam berbagai (keadaanmu) yang memalukan, engkau pun telah menempuh seperti jalan mereka dan melangkah dengan langkah mereka?

      Jika engkau mempunyai alasan, maka mereka lebih pantas lagi untuk beralasan. Jika alasan mereka mirip semacam olok-olok, maka bagaimana engkau ridha bersikap demikian terhadap Rabb-mu?

      Saat itulah, jabari  ini tersadar. Ia sadar, setelah sebelumnya tenggelam dalam sikapnya yang berlebih-lebihan seraya mengatakan,”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dari apa yang telah aku alami, dan menjadikan untukku nasihat dan peringatan dari berbagai kejadian yang menimpaku ini. Aku dapat merasakan di dalamnya kesalahanku yanng keji. Sekarang aku berkeyakinan bahwa apa yang aku peroleh berupa ni’mat hidayah kepada kebenaran adalah lebih besar bagiku dibandingkan musibah-musibah besar ini. Sebagaimana firman-Nya:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
      “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahu, sedang kamu tidak mengetahui.”( Al-Baqarah:216)





DAFTAR BACAAN
1.      Ali al-Musyaiqih, Khalid ibn, Buku Pintar Aqidah, Maktabah Ar-Rusyd Riyadh, cet.1.th.2012.
2. Ibrahim al-Hamd, Muhammad ibn, Kupas Tuntas Masalah Takdir, Pustaka Ibnu Katsir Bogor, cet.1.th.2005.
3.      Ilyas, Yunahar, Kuliah Aqidah Islam, LPPI UMY, cet.15.th.2013.
4.      Kadarusman, Pendidikan Aqidah SMK/SMA/MA Muhammadiyah Kelas 12, cet.1.th.2012














           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar