Minggu, 26 April 2015

Makalah Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Fatihah



PENDAHULUAN
            Al-Qur’an adalah kitab suci yang tidak lekang oleh panas, tidak lapuk, oleh hujan, tidak juga habis-habisnya mutiara hikmah yang dipersembahkannya. Salah satu surah yang di Al-Qur’an yaitu Al-Fatihah. Surah ini turun di Mekkah sebelum Nabi SAW. berhijrah. Jumlah ayat-ayatnya disepakati sebanyak tujuh ayat, tetapi ulama berbeda pendapat menyangkut Basmalah pada awalnya, apakah ia bagian dari surah ini atau bukan?
            Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) berpendapat bahwa surah Al-Fatihah merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, ia lebih dahulu turun daripada surah Iqra’. Menurut Abduh, Al-Fatihah mengandung pokok-pokok kandungan Al-Qur’an secara global, sedang semua ayat Al-Qur’an selainnya merupakan perincian-perincian pokok-pokok tersebut. Al-Qur’an-tulis Abduh dalam tafsirnya-turun untuk menguraikan masalah-masalah:1) tauhid, 2) janji dan ancaman, 3) ibadah yang menghidupkan tauhid, 4) penjelasan tentang jalan kebahagian dan cara mencapainya di dunia dan di akhirat, dan 5) pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.
            Kelima pokok uraian di atas menurut Abduh tercermin dalam ayat-ayat surah Al-Fatihah; tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah juga pada ayat kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah masa lalu diisyaratkan oleh ayat terakhir.
            Pendapat yang menyatakan Al-Fatihah sebagai wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW. tidak disetujui oleh mayoritas ulama. Namun ada di antara mereka yang berusaha mengkompromikannya dengan pendapat yang menyatakan bahwa wahyu yang pertama adalah lima ayat pertama surah Iqra’. Pengkompromian  tersebut adalah dengan menyatakan bahwa surah pertama yang turun secara sempurna adalah Al-Fatihah, sedangkan surah Iqra’ adalah wahyu yang pertama yang ketika turun belum dalam satu surah sempurna.
            Al-Fatihah yang merupakan mahkota tuntunan Ilahi. Dalam kesempata ini saya, berusaha untuk mentafsirkan surah Al-Fatihah yang bersumber dari dosen Tafsir Al-Qur’an Hadist dan Ayat Pendidikan UMY yaitu Drs. H. Marsudi Iman, M.Ag dan dari sumber buku pendukung.
                                                                                                                 



PEMBAHASAN
Surat Al-Fatihah
ســـــــــــــــــــورة الفاتحة
 بِسْــــــــمِ اللَّــــــــهِ الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ {1} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {2} الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {3} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {4} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {5} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ {6} صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّينَ {7}

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:1)
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, (QS. 1:2)
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:3)
Yang menguasai hari pembalasan. (QS. 1:4)
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. 1:5)
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. 1:6)
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S 1:7)

            Seorang muslim akan selalu mengulang-ulang membaca surat pendek yang terdiri dari tujuh ayat ini, minimal ia membacanya sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam, entah berapa kali lipat lagi kalau dia melakukan shalat-shalat sunah, dan tak terbatas lagi kalau ia ingin melakukan ibadah nafilah di hadapan Tuhannya, yang bukan fardhu dan bukan sunah. Dan, tidak sah shalat seseorang tanpa membaca surat ini, seperti dalam riwayat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Ubadah bin ash-Shamit, dari Rasulullah SAW.,
)لَاصَلَاةَلِمَنْ لَمْ يَقْرَأْبِفَاتِحَةِالْكِتَابِ)
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul-Kitab.”
Surah ini dimulai dengan,

بِسْــــــــمِ اللَّــــــــهِ الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

Untuk memahami arti ayat pertama ini, terlebih dahulu perlu didudukkan pengertian “ba” yang dibaca “bi” pada ayat tersebut. Ulama dari golonga sufi menekankan pentingnya huruf ini dalam “basmallah”. Mereka bahkan berkata bahwa inti kandungan ajaran Islam dihimpun oleh makna huruf tersebut.
Ada dua arti yang dapat dikemukakan:
Pertama, bi ( ب ( yang diterjemahkan dengan kata “dengan” menyimpan satu kata yang tidak trucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmallah, yaitu kata “memulai”. Sehingga bismillah berarti “saya atau kami memulai dengan namaAllah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam doa ataupernyatan dari pengucap. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah dari Allah (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah),”Mulailah dengan nama Allah!”
Apabila seseorang memulai suatu pekerjaan dengan nama Allah atau atas nama Allah atau atas nama Allah , maka pekerjaan tersebut akan lebih baik, atau paling tidak terhindar dari godaan nafsu, dorongan ambisi atau kepentingan pribadi. Almarhum Abdul Halim Mahmud, mantan syaikh Al-Azhar, Mesir, menulis dalam bukunya Al-Islam wa al-‘Aql lebih kurang sebagai berikut:
“Apabila Anda menjadikan pekerjaan Anda bertitik tolak dari Allah dan karena Allah, maka pastilah pekerjaan Anda itu tidak akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Sebaliknya, akan membawa manfaat bagi diri Anda, masyarakat, lingkungan, bahkan kemanusiaan secara keseluruhan…”
Kedua, bi  yang diterjemahkan dengan kata “dengan” itu dikaitkan dalam benak dengan kata “kekuasaan atau pertolongsn”. Pengucapan basmallah seakan-akan berkata,”Dengan   kekuasan Allah dan pertolongan-Nya, pekerjaan saya ini dapat terlaksana.”
Rasulullah SAW. bersabda,  “Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan bismillah, maka pekerjaan tersebut tidak sempurna atau cacat.” Dengan demikian, apa pun pekerjaan itu (makan, minum, keluar rumah, bahkan gerak atau diam seklipun) semuanya harus disadari bahwa ia tidak mungkin terlaksana kecuali atas bantuan dan kekuasaan Allah.
Kata ism (اسم (  terambil dari kata as-sumuw (السمو ) yang berarti “tinggi” atau as-simah (السمه)  yang berarti “tanda”. Kata ini biasa diterjemahkan dengan “nama”. Nama disebut ism, karena ia menjadi tanda bagi sesuatu. Ada yang berpendapat bahwa nama adalah hakikat seesuatau Yang dinamai itu. Jadi, kalau di sini dikatakan “dengan nama Allah”, maka itu berarti “dengan Allah”.
Lafal الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ ada hubungannya dengan lafal اللَّــــــــه  yaitu Tauhid Uluhiyyah. Menyebut sifat Allah di dalam memulai sesuatu dengan ar-Rahman ar-Rahim, mencakup seluruh makana rahmat dan keadaannya. Dan, Dia sendiri sajalah yang khusus menghimpun kedua sifat ini, seperti halnya cuma Dia sendiri yang khusus mempunyai sifat Ar-Rahman. Maka boleh saja seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya disifati dengan sifat rahim, tetapi dari sudut iman tidak boleh seorang pun di antara hamba-hamba-Nya diberi sifat rahman, lebih-lebih melekatkan kedua sifat itu pada dirinya. Rahman kasih saying satu yang diberikan di dunia untuk manusia. Sedangkan Rahim kasih saying yang lama diberikan kepada orang-orang yang bertaqwa.
Jadi, dapat dimbil kesimpulan bahwa basmallah mengandung tiga makna:
1)      Niat (niat karena Allah)
2)      Proses (semoga dapat pertolongan)
3)      Hasil (dipersembahkan untuk Allah)
Sesudah memulai sesuatu dengan menyaebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, datanglah arah tujuannya kepada Allah dengan memuji dan menyifati-Nya dengan rububiyyah yang mutlak terhadap alam semesta,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”
Kata al-hamdu terdiri dari al dan hamd. Kata hamd sering diterjemahkan dengan “pujian” atau maknanya dianggap mirip atau persis sama dengan “syukur”, atau pula saling memperkaya makna. Namun pada hakikatnya dari segi bahasa kedua kata tersebut mempunyai makna yang berbeda. Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang bersangkutan, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Sedang syukur pada dasarnya digunakan untuk mengakui dengan tulus dan penuh penghormatan akan nikmat yang dianugerahkan oleh yang disyukuri itu, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan.
Adapun tiga hal yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia atau perbuatannya layak mendapat pujian: 1) indah (baik). 2) diperbuat secara sadar, dan 3) tidak terpaksa/dipaksa.  Kata al-hamdu dalam surah Al-Fatihah ditujukan kepada Allah. Hal ini dapat dibuktikan dalam surah Ghafir ayat 62:
ذَ لِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ خَا لِقُ كُلِّ شَيْءٍ
“Dan itulah Dia Allah, Tuhan Pemeliharamu, Pencipta segala sesuatu”
Dari  ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Tuhanlah Yang menciptakan segala sesuatu dan segalanya diciptakan dengan baik serta penuh “kesadaran”, tanpa paksaan. Kalau demikian, maka segala perbuatan-Nya terpuji dan segala yang terpuji merupakan perbuatan-Nya juga, sehingga “segala puji tertuju kepada Allah.”
رَبِّ الْعَالَمِين
Tuhan Pemelihara seluruh alam
Penggalan ayat ini merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya Allah SWT untuk mendapat pujian. Pertanyaan mengapa pijian harus dikembalikan dan ditjukan kepada Allah semata dijawab bahwa karena Dia adalah Tuahan Pemelihara seluruh alam. Kata Rabb, yang diartikan pendidik (pemelihara), mempunyai banyak sekali aspek yang dapat menyentuh makhluk. Penertian rububiyyah (pemeliharaan) mencakup pemberian rezwki, pengampunan dan kasih saying; juga amarah, ancaman, siksaan dan sebagainya.
Kata al-alamin adalah bentuk jamak dari ‘hal bentuk  alam. Para teolog Islam sering mendefinisikan kata ‘alam (alam) sebagai “segala sesuatu selain Allah”. Pengertian ini tidak sama dengan pengertian alam yang dimaksud oleh ayat di atas, karena ia berbentuk jamak. Padahal bentuk mufrad (tunggal) sudah cukup mencakup segala sesuatu selain Allah.
Perlu digarisbawahi bahwa kata alamin yang berbentuk jamak, menegaskan banyaknya alam-alam yang dipelihara Tuhan, sebagaian darinya tidak kita ketahui.
وَيَخْلُقُ مَالَاتَعْلَمُوْنَ
Dia (Allah) menciptakan makhluk-makhluk yang kamu tidak mengetahuinya. (Q.S 16: 8).  Oleh sementara ulama, ayat kedua surah Al-Fatihah ini dinilai mempunyai dua sisi makna. Pertama, berupa pujian syukur kepada-Nya dalambentuk ucapan (al-hamd). Kedua, berupa syukur kepada Allah dalam bentuk perbuatan. Kedua sisi ini tergabung dalam ucapan al-hamdu lillah.
Dalam surah Ar-Rahman (surah ke-55), Al-Qur’an membicarakan aneka nikmat Allah dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat kelak. Hamper pada setiap dua nimat yang disebutkan, Al-Qur’an mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama: Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?
Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Sementara ulama menganalisis jumlah itu dan mengelompokkannya untuk kemudian sampai kepada suatu kesimpulan. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nukmat-nikmat  Tuhan dalam kehidupan dunia abtara lain nikmat pengajaran Al-Qur’an, pengajaran berekspresi, langit, bumi, matahari, lautan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Tujuh pertanyaan dalam kaitan dengan ancaman siksa neraka di akhirat nanti. Perlu diingat bahwa ancaman adalah bagian dari pemeliharaan dan pendidikan serta merupakan salah satu nikmat Tuhan.
Delapan pertanyaan dalam kaitan dengan nikmat-nikmat pada surge kedua. Dari hasil pengelompokkan demikian, para ulama menyusun semacam “rumus”, yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang disebutkan dalam rangkaian delapan pertanyaan pertama-syukur seperi makana yang dikemukakan di atas-maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka yang disebut dalam ancaman dalam tujuh pertanyaan berikutnya. Sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surge kedua, baik surga kenikmatan duniawi maupun kenikmata ukhrawi.

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Sebagian makna dan kandungan kedua kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang membentuk ayat ketiga dari surat Al- Fatihah telah dikemukakan ketika membicarakan ayat pertama (basmalah). Namun ayat ketiga ini tidak dapat dianggap sebagai pengulangan sebagian kandungan basmalah itu. Ulama Al-Qur’an hampir sepakat menyatakan bahwa setiap pengulangan kata dalam Al-Quran pasti memberi makna yang sedikit atau banyak berbeda dengan kata atau kalimat yang diduga diulangi itu.
Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam ayat ketiga ini bertujuan menjelaskan bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah sebagaimana disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau suatu pamrih seperti halnya seseorang atau suatu perusahaan yang menyekolahkan karyawannya. Pendidikan dan pemiliharaan tersebut semata- mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk- makhluknya. Demikian pendapat Muhammad Abduh.
Ditambahkan pakar tafsir ini bahwa penekanan pada sifat Rahman dan Rahim di sini untuk menghapus anggapan bahwa kata Rabb mengisyaratkan Tuhan memiliki sifat kekuasaan mutlak yang cenderung sewenang- wenang. Dengan disebutkannya sifat Rahman dan Rahim, tentang kuasa mutlak akan bergabung kesan rahmat dan kasih sayang. Ini mengantar kepada keyakinan bahwa Allah SWT Maha Agung lagi Maha Indah,  Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, seakan-akan dengan menyebut kedua sifat tersebut, Allah SWT mengundang makhluk-makhluk-Nya untuk datang ke hadirat-Nya demi memperoleh keridaan-Nya dan dengan demikian hati mereka menjadi lapang dan jiwa mereka menjadi tenang. Demikian Muhammad Abduh.
Ada yang berpendapat fungsi Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam ayat ketiga ini adalah untuk menjelaskan rahmat dn kasih sayang Tuhan dalam pemeliharaan dan pendidikan-Nya, sedangkan pada basmalah, untuk menjelaskan bahwa surah tersebut turun membawa rahmat Ilahi. Dengan demikian masing-masing membawa makana yang berbeda.

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang menguasai hari pembalasan”
مَالِكِ mimnya bisa dibaca panjang maupun pendek, kalau panjang artinya pemilik bersifat mutlak atau absolut bila pendek artinya raja. Seorang pemilik belum tentu menjadi raja, sebaliknya pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja. Kata “raja” biasanya digunakan untuk menyebut penguasa atas manusia, sedang kata “pemilik” untuk penguasa atas harta benda yangtidak bernyawa. Dalam  Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menegaskan hal ini, antara lain:
وَلَهُ الْمُلْكُ يَوْمَ يُنفَخُ فِي الصُّورِ
“Dan bagi-Nya kerajaan (kekuasaan) pada hari ditiup sangkakala.” (Q.S 6:73)
الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
“Kerajaan pada hari itu (kiamat) adalah milik Allah.” (Q.S 22:56)
Yaum dan Ad-din. Yaum (يَوْمِ) biasa diterjemahkan hari. Kata ini terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak hari-hari dalam setahun (365 kali). Namun demikian tidak semua kata tersebut mengandung arti yang sama dengan hari yang kita kenal dalam kehidupan dunia ini. Al-Qur’an menggunakan kata yaum dalam arti “waktu” atau “periode” yang terkadang sangat panjang menurut ukuran kita.
Kata ad-din (الدِّينِ) dalam ayat ini diartikan sebagai “pembalasan” atau “perhitungan”, atau “ketaatan”, karena pada “hari” itu terjadi perhitungan dan pembalasan Allah, karena ketika itu semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya kepada Allah dalam bentuk yang sangat nyata. Para ulama itu membagi balasan (ganjaran) Tuhan menjadi balasan (ganjaran) duniawi dan ukhrawi. Pembalasan duniawi diberikan Allah secara  kolektif yang menaati hukum-hukum Tuhan yang berkaitan dengan alam dan kemasyarakatan.
Balasan ukhrawi tidak bersifat kolektif tetapi orang per orang dan hari pembalasan yang dimaksud dalam ayat keempat surah ini adalah hari pembalasan untuk orang per orang itu. Pendapat ini didukung oleh firman Allah:
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا
“Dan tiap-tiap mereka (makhluk yang ada di langit dan di bumi) akan dating kepada-Nya pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”.
Ayat empat di atas menyatakan bahwa Allah adalah Pemilik (Raja) di hari kemudian. Paling tidak ada dua makna yang dikandung oleh penegasan ini, yaitu:
Pertama, Allah yang menentukan dan dia pula satu satunya yang mengetahui kapan tibanya hari tersebut.
Kedua, Allah menguasai segala sesuatu yang terjadi dan apapun yang terdapat ketika itu. Kekuasaan-Nya yang sedemikian besar sampai- sampai jangankan bertindak atau bersikap menentangnya, berbicara pun harus dengan seizing-Nya.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Inilah akidah menyeluruh yang bersumber dari keseluruhan akidah yang disebutkan di muka surah ini. Maka, tidak ada ibadah kecuali kepada Allah dan tidak ada isti’anah ‘permohonan pertolongan’ kecuali kepada Allah juga.
Iyyaka na’budu terdiri dari dua kata, yaitu iyyaka dan na’budu. Kata na’budu biasa diterjemahkan dengan “menyembah”, “mengabdi”, dan “taat”. Di dalam nama Abdullah, terdapat kata ‘abd yang artinya sebagai “hamba”. Iyyaka akan bernilai bila:
1.      Niat karena Ridho Allah
2.      Profesional bekerja
3.      Pemanfaatan hasil di jalan Allah.
Didahulukannya kata iyyaka atas kata na’budu dimaksudkan untuk memberi penekanan terhadap bentuk dan hakikat pengabdian tersebut. Penekanan  ini mengantar kepada makna “pengkhususan”, dalam arti “hanya kepada-Mu kami mengabdi”.Pengabdian yang dimaksud dalam ayat lima tidak terbatas pada hal-hal yang diungkapkan oleh ahli hukum Islam (fiqh) yakni shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi mencakup segala macam aktivitas manusia, yang pasif maupun yang aktif, sepanjang tujuan dari setiap gerak dan langkah itu adalah Allah.
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Jika anda memohon bantuan, maka berarti bahwa oleh satu dan lain sebab, anda tidak dapat atau terhalang untuk meraihs esuatu yang anda mohonkan itu, kecuali bila dibantu. Tetapi permintaan ini  tidak berarti bahwa anda berlepas tangan atau menyerahkan sepenuhnya kepada siapa yang anda mintai bantuan ia agar apa yang anda mohonkan terpenuhi. Dengan kata lain, walau dengan permohonan bantuan, peran aktif si pemohon dalam batas-batas kemampuannya masih tetap dituntut. Dari penjelasan tentang arti iisti’anah (permohonan bantuan) seperti yang dikemukakan ini, maka wa iyyaka nasta’in mengandung dua konsekuensi pokok.
Pertama,bahwa si pemohon harus berperan aktif bersama dengan siapa yang kepadanya ia bermohon demi tercapainya apa yang dimohonkan.
Kedua, si pemohon berjanji untuk tidak meminta bantuan kecuali kepada Allah semata-mata.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Kata ihdina diambil dari kata hada, hidayah, yang biasa diterjemahkan dengan petunjuk. Kata ini oleh pakar-pakar diartikan sebagai “sesuatu yang menunjukkan (mengantar) kepada apa yang diharapkan”. Biasanya sesuatu (petunjuk) itu disamoaikan secara lemah lembut.
Petunjuk atau hidayat Allah beraneka ragam dan bertingkat-tingkat: Pertama, anugerah-Nya yang berbentuk naluri yang diperoleh sejak kelahiran; Kedua, yaitu panca indera; Ketiga, yaitu akal; Keempat yaitu agama, di bagi dua yaitu kebahagian dunia dan akhirat.
Kata sirath berasal dari kata saratha .  Pertemuan  antara huruf Sin dan Ra dapat melahirkan bunyi yang berbeda-beda. Kata saratha yang merupakan asal kata shirath berarti “menelan”. Kata “telan” menggambarkan adanya “jalan yang luas” yang dilalui oleh sesuatu yang ditelan itu. Sedemikian luas jalan tersebut, sehingga ia  seakan-akn menelan para pejalan yang lalu-lalang di sana.
Shirath (jalan luas) yang dimohonkan itu, adalah yang mustaqim. Kata mustaqim terambil dari kata qama/yaqumu yang arti asalnya adalah “mengandalkan kekuatan betis dan memegangnya secara teguh sampai bisa berdiri tegak lurus”. Dalam ayat enam yang diharapkan bukan saja petunjuk jalan “yang luas” tetapi juga yang “lurus”, karena apabila ia hanya luas  tetapi ia tidak lurus maka mungkin perjalanan itu akan panjang  dan lama untuk ditempuh. Jalan lurus, adalah jalan yang terdekat mengantar seseorang sampai ke tujuan. Jadi, jalan luas lagi lurus adalah segala jalan yang mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّينَ
”(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

Kata shirath telah diuraikan di atas. Maka kata an ‘amta, kata ini bentuk dari kata ni’mah yang menurut pengertian asalnya berarti “kelebihan” atau “persembahan”. Seperti yang anda tadinya tidak memiliki sesuatu, kemudian memperoleh sesuatu itu. Ini adalah “penambahan” atau “kelebihan” jika dilihat dari keadaan anda sebelumnya. Dan itulah yang dinamai oleh bahasa agama sebagai “nikmat”.
            Kata “nikmat” yang dimaksud ayat terakhir Al-Fatihah adalah nikmat yang paling bernilai yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat lainnnya tidak akan mempunyai nilai yang berarti. Nikmat tersebut adalah “nikmat agama”, nikmat ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang yang di beri nikamt adalah para Nabi atau Rasul, Syuhada’, orang-orang sholih, dan ulama.
            Al-Maghdhub berasal dari kata ghadhab yang dalam berbagai bentuknya memiliki keragaman makna, namun kesemuanya memberikan kesan “keras, kokh dan tegas”. Singa, banteng, batu gunung, sesuatu yang merah padam (ingat wajah yang merah padam), kesemuanya digambarkan melalui akar kata ghadhab. Jadi al-ghadhab adalah sikap keras, tegas, kokah, dan sukar tergoyahkan yang diperankan oleh pelakunya terhadap suatu objek.
Tentang  siapakah Al-Maghdhub ‘alaihim itu, ayat ini tidak menjelaskannya. Sementara ulama tafsir menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Kata adh-dhalin berasal dari kata dhalla-yadhillu yang menurut bahasa berarti “kehilangan jalan, bingung, tidak mengetahui arah”. Makna-makna tersebut berkembang menjadi “binasa, terkubur”, dan diartikan dalam konteks imaterial  sebagai “sesat dari jalan kebajikan”, atau lawan kata “petunjuk”. Orang-orang yang dimurkai Allah yaitu Yahudi, Nashrani, dan Majusi.


           








PENUTUP
A.   Kesimpulan
Al-Fatihah mengandung pokok-pokok kandungan Al-Qur’an secara global, sedang semua ayat Al-Qur’an selainnya merupakan perincian-perincian pokok-pokok tersebut. Pokok-pokok kandungan surah Al-Fatihah yaitu; tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah juga pada ayat kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah masa lalu diisyaratkan oleh ayat terakhir.

B.     Referensi Tambahan
Quraish Shihab. Muhammad,1997, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayat
Quth. Sayyid, 2005, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an (Surat Al-Faatihah-Al-Baqarah) Jilid 1, Jakarta: Gema insani



1.       
2.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar