PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah kitab suci yang tidak lekang oleh panas, tidak lapuk, oleh hujan, tidak
juga habis-habisnya mutiara hikmah yang dipersembahkannya. Salah satu surah
yang di Al-Qur’an yaitu Al-Fatihah. Surah ini turun di Mekkah sebelum Nabi SAW.
berhijrah. Jumlah ayat-ayatnya disepakati sebanyak tujuh ayat, tetapi ulama
berbeda pendapat menyangkut Basmalah pada awalnya, apakah ia bagian dari
surah ini atau bukan?
Syaikh
Muhammad Abduh (1849-1905) berpendapat bahwa surah Al-Fatihah merupakan wahyu
pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, ia lebih dahulu turun
daripada surah Iqra’. Menurut Abduh, Al-Fatihah mengandung pokok-pokok
kandungan Al-Qur’an secara global, sedang semua ayat Al-Qur’an selainnya
merupakan perincian-perincian pokok-pokok tersebut. Al-Qur’an-tulis Abduh dalam
tafsirnya-turun untuk menguraikan masalah-masalah:1) tauhid, 2) janji dan
ancaman, 3) ibadah yang menghidupkan tauhid, 4) penjelasan tentang jalan
kebahagian dan cara mencapainya di dunia dan di akhirat, dan 5) pemberitaan
atau kisah generasi terdahulu.
Kelima
pokok uraian di atas menurut Abduh tercermin dalam ayat-ayat surah Al-Fatihah;
tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat
pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah juga pada ayat kelima dan ketujuh,
sedangkan sejarah masa lalu diisyaratkan oleh ayat terakhir.
Pendapat
yang menyatakan Al-Fatihah sebagai wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad
SAW. tidak disetujui oleh mayoritas ulama. Namun ada di antara mereka yang
berusaha mengkompromikannya dengan pendapat yang menyatakan bahwa wahyu yang
pertama adalah lima ayat pertama surah Iqra’. Pengkompromian tersebut adalah dengan menyatakan bahwa surah
pertama yang turun secara sempurna adalah Al-Fatihah, sedangkan surah Iqra’
adalah wahyu yang pertama yang ketika turun belum dalam satu surah sempurna.
Al-Fatihah
yang merupakan mahkota tuntunan Ilahi. Dalam kesempata ini saya, berusaha untuk
mentafsirkan surah Al-Fatihah yang bersumber dari dosen Tafsir Al-Qur’an Hadist
dan Ayat Pendidikan UMY yaitu Drs. H. Marsudi Iman, M.Ag dan dari sumber buku
pendukung.
PEMBAHASAN
Surat Al-Fatihah
ســـــــــــــــــــورة الفاتحة
بِسْــــــــمِ اللَّــــــــهِ
الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ {1}
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {2}
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {3}
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {4}
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {5}
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ {6}
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلاَالضَّآلِّينَ {7}
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. (QS. 1:1)
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, (QS. 1:2)
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS.
1:3)
Yang menguasai hari pembalasan. (QS.
1:4)
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. 1:5)
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS.
1:6)
(yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S 1:7)
Seorang muslim akan selalu
mengulang-ulang membaca surat pendek yang terdiri dari tujuh ayat ini, minimal
ia membacanya sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam, entah berapa kali
lipat lagi kalau dia melakukan shalat-shalat sunah, dan tak terbatas lagi kalau
ia ingin melakukan ibadah nafilah di hadapan Tuhannya, yang bukan fardhu dan
bukan sunah. Dan, tidak sah shalat seseorang tanpa membaca surat ini, seperti
dalam riwayat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Ubadah bin
ash-Shamit, dari Rasulullah SAW.,
)لَاصَلَاةَلِمَنْ
لَمْ يَقْرَأْبِفَاتِحَةِالْكِتَابِ)
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak
membaca Fatihatul-Kitab.”
Surah
ini dimulai dengan,
بِسْــــــــمِ
اللَّــــــــهِ الرَّحْمَــــــــنِ الرَّحِيــــــــمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang”.
Untuk memahami arti ayat pertama ini, terlebih
dahulu perlu didudukkan pengertian “ba” yang dibaca “bi” pada ayat tersebut.
Ulama dari golonga sufi menekankan pentingnya huruf ini dalam “basmallah”. Mereka
bahkan berkata bahwa inti kandungan ajaran Islam dihimpun oleh makna
huruf tersebut.
Ada dua arti yang dapat dikemukakan:
Pertama, bi (
ب (
yang diterjemahkan dengan kata “dengan” menyimpan satu kata yang tidak
trucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmallah,
yaitu kata “memulai”. Sehingga bismillah berarti “saya atau kami
memulai dengan namaAllah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam
doa ataupernyatan dari pengucap. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah
dari Allah (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah),”Mulailah
dengan nama Allah!”
Apabila seseorang memulai suatu pekerjaan dengan
nama Allah atau atas nama Allah atau atas nama Allah , maka pekerjaan tersebut
akan lebih baik, atau paling tidak terhindar dari godaan nafsu, dorongan ambisi
atau kepentingan pribadi. Almarhum Abdul Halim Mahmud, mantan syaikh Al-Azhar,
Mesir, menulis dalam bukunya Al-Islam wa al-‘Aql lebih kurang sebagai
berikut:
“Apabila Anda menjadikan pekerjaan Anda bertitik
tolak dari Allah dan karena Allah, maka pastilah pekerjaan Anda itu tidak akan
mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Sebaliknya, akan membawa manfaat bagi
diri Anda, masyarakat, lingkungan, bahkan kemanusiaan secara keseluruhan…”
Kedua, bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan” itu
dikaitkan dalam benak dengan kata “kekuasaan atau pertolongsn”. Pengucapan basmallah
seakan-akan berkata,”Dengan kekuasan
Allah dan pertolongan-Nya, pekerjaan saya ini dapat terlaksana.”
Rasulullah SAW. bersabda, “Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai
dengan bismillah, maka pekerjaan tersebut tidak sempurna atau cacat.” Dengan
demikian, apa pun pekerjaan itu (makan, minum, keluar rumah, bahkan gerak atau
diam seklipun) semuanya harus disadari bahwa ia tidak mungkin terlaksana
kecuali atas bantuan dan kekuasaan Allah.
Kata ism (اسم ( terambil dari kata as-sumuw (السمو )
yang berarti “tinggi” atau as-simah (السمه) yang berarti “tanda”. Kata ini biasa diterjemahkan
dengan “nama”. Nama disebut ism, karena ia menjadi tanda bagi sesuatu.
Ada yang berpendapat bahwa nama adalah hakikat seesuatau Yang dinamai itu.
Jadi, kalau di sini dikatakan “dengan nama Allah”, maka itu berarti “dengan
Allah”.
Lafal الرَّحْمَــــــــنِ
الرَّحِيــــــــمِ ada hubungannya dengan lafal اللَّــــــــه yaitu Tauhid Uluhiyyah.
Menyebut sifat Allah di dalam
memulai sesuatu dengan ar-Rahman ar-Rahim, mencakup seluruh makana rahmat dan
keadaannya. Dan, Dia sendiri sajalah yang khusus menghimpun kedua sifat ini,
seperti halnya cuma Dia sendiri yang khusus mempunyai sifat Ar-Rahman. Maka
boleh saja seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya disifati dengan sifat rahim,
tetapi dari sudut iman tidak boleh seorang pun di antara hamba-hamba-Nya
diberi sifat rahman, lebih-lebih melekatkan kedua sifat itu pada
dirinya. Rahman kasih saying satu yang diberikan di dunia untuk manusia.
Sedangkan Rahim kasih saying yang lama diberikan kepada orang-orang yang
bertaqwa.
Jadi, dapat dimbil kesimpulan bahwa basmallah
mengandung tiga makna:
1)
Niat
(niat karena Allah)
2)
Proses
(semoga dapat pertolongan)
3)
Hasil
(dipersembahkan untuk Allah)
Sesudah memulai sesuatu dengan menyaebut nama Allah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, datanglah arah tujuannya kepada Allah
dengan memuji dan menyifati-Nya dengan rububiyyah yang mutlak terhadap
alam semesta,
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
“Segala puji
bagi Allah, Rabb semesta alam”
Kata
al-hamdu terdiri dari al dan hamd. Kata hamd sering
diterjemahkan dengan “pujian” atau maknanya dianggap mirip atau persis sama
dengan “syukur”, atau pula saling memperkaya makna. Namun pada hakikatnya dari
segi bahasa kedua kata tersebut mempunyai makna yang berbeda. Hamd (pujian)
disampaikan secara lisan kepada yang bersangkutan, walaupun ia tidak memberi
apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Sedang syukur pada
dasarnya digunakan untuk mengakui dengan tulus dan penuh penghormatan akan
nikmat yang dianugerahkan oleh yang disyukuri itu, baik dengan kata-kata maupun
dengan perbuatan.
Adapun
tiga hal yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia atau perbuatannya
layak mendapat pujian: 1) indah (baik). 2) diperbuat secara sadar, dan 3) tidak
terpaksa/dipaksa. Kata al-hamdu dalam
surah Al-Fatihah ditujukan kepada Allah. Hal ini dapat dibuktikan dalam surah
Ghafir ayat 62:
ذَ لِكُمُ
اللهُ رَبُّكُمْ خَا لِقُ كُلِّ شَيْءٍ
“Dan itulah Dia Allah, Tuhan Pemeliharamu, Pencipta segala
sesuatu”
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa
Tuhanlah Yang menciptakan segala sesuatu dan segalanya diciptakan dengan baik
serta penuh “kesadaran”, tanpa paksaan. Kalau demikian, maka segala
perbuatan-Nya terpuji dan segala yang terpuji merupakan perbuatan-Nya juga,
sehingga “segala puji tertuju kepada Allah.”
رَبِّ
الْعَالَمِين
Tuhan Pemelihara
seluruh alam
Penggalan ayat ini
merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya Allah SWT untuk mendapat
pujian. Pertanyaan mengapa pijian harus dikembalikan dan ditjukan kepada Allah
semata dijawab bahwa karena Dia adalah Tuahan Pemelihara seluruh alam. Kata Rabb,
yang diartikan pendidik (pemelihara), mempunyai banyak sekali aspek yang
dapat menyentuh makhluk. Penertian rububiyyah (pemeliharaan) mencakup
pemberian rezwki, pengampunan dan kasih saying; juga amarah, ancaman, siksaan
dan sebagainya.
Kata al-alamin adalah
bentuk jamak dari ‘hal bentuk alam. Para
teolog Islam sering mendefinisikan kata ‘alam (alam) sebagai “segala sesuatu
selain Allah”. Pengertian ini tidak sama dengan pengertian alam yang dimaksud
oleh ayat di atas, karena ia berbentuk jamak. Padahal bentuk mufrad (tunggal)
sudah cukup mencakup segala sesuatu selain Allah.
Perlu digarisbawahi
bahwa kata alamin yang berbentuk jamak, menegaskan banyaknya alam-alam
yang dipelihara Tuhan, sebagaian darinya tidak kita ketahui.
وَيَخْلُقُ
مَالَاتَعْلَمُوْنَ
Dia (Allah) menciptakan makhluk-makhluk yang kamu
tidak mengetahuinya. (Q.S 16: 8). Oleh sementara ulama, ayat kedua surah
Al-Fatihah ini dinilai mempunyai dua sisi makna. Pertama, berupa pujian syukur
kepada-Nya dalambentuk ucapan (al-hamd). Kedua, berupa syukur kepada
Allah dalam bentuk perbuatan. Kedua sisi ini tergabung dalam ucapan al-hamdu
lillah.
Dalam surah Ar-Rahman (surah ke-55),
Al-Qur’an membicarakan aneka nikmat Allah dalam kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat kelak. Hamper pada setiap dua nimat yang disebutkan, Al-Qur’an
mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama: Maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu ingkari?
Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh
satu kali. Sementara ulama menganalisis jumlah itu dan mengelompokkannya untuk
kemudian sampai kepada suatu kesimpulan. Delapan pertanyaan berkaitan dengan
nukmat-nikmat Tuhan dalam kehidupan
dunia abtara lain nikmat pengajaran Al-Qur’an, pengajaran berekspresi, langit,
bumi, matahari, lautan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Tujuh pertanyaan dalam kaitan dengan ancaman siksa
neraka di akhirat nanti. Perlu diingat bahwa ancaman adalah bagian dari
pemeliharaan dan pendidikan serta merupakan salah satu nikmat Tuhan.
Delapan pertanyaan dalam kaitan dengan nikmat-nikmat
pada surge kedua. Dari hasil pengelompokkan demikian, para ulama menyusun
semacam “rumus”, yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang
disebutkan dalam rangkaian delapan pertanyaan pertama-syukur seperi makana yang
dikemukakan di atas-maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka yang disebut
dalam ancaman dalam tujuh pertanyaan berikutnya. Sekaligus dia dapat memilih
pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun
surge kedua, baik surga kenikmatan duniawi maupun kenikmata ukhrawi.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Sebagian makna dan kandungan kedua kata Ar-Rahman
dan Ar-Rahim yang membentuk ayat ketiga dari surat Al- Fatihah telah
dikemukakan ketika membicarakan ayat pertama (basmalah). Namun ayat ketiga ini
tidak dapat dianggap sebagai pengulangan sebagian kandungan basmalah
itu. Ulama Al-Qur’an hampir sepakat menyatakan bahwa setiap pengulangan kata
dalam Al-Quran pasti memberi makna yang sedikit atau banyak berbeda dengan kata
atau kalimat yang diduga diulangi itu.
Ar-Rahman dan Ar-Rahim
dalam ayat ketiga ini bertujuan menjelaskan bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah
sebagaimana disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah
atau suatu pamrih seperti halnya seseorang atau suatu perusahaan yang menyekolahkan
karyawannya. Pendidikan dan pemiliharaan tersebut semata- mata karena rahmat
dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk- makhluknya. Demikian
pendapat Muhammad Abduh.
Ditambahkan pakar tafsir ini bahwa penekanan pada
sifat Rahman dan Rahim di sini untuk menghapus anggapan bahwa
kata Rabb mengisyaratkan Tuhan memiliki sifat kekuasaan mutlak yang cenderung sewenang-
wenang. Dengan disebutkannya sifat Rahman dan Rahim, tentang
kuasa mutlak akan bergabung kesan rahmat dan kasih sayang. Ini mengantar kepada
keyakinan bahwa Allah SWT Maha Agung lagi Maha Indah, Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, seakan-akan
dengan menyebut kedua sifat tersebut, Allah SWT mengundang makhluk-makhluk-Nya
untuk datang ke hadirat-Nya demi memperoleh keridaan-Nya dan dengan demikian hati
mereka menjadi lapang dan jiwa mereka menjadi tenang. Demikian Muhammad Abduh.
Ada yang berpendapat fungsi Ar-Rahman dan Ar-Rahim
dalam ayat ketiga ini adalah untuk menjelaskan rahmat dn kasih sayang Tuhan
dalam pemeliharaan dan pendidikan-Nya, sedangkan pada basmalah, untuk
menjelaskan bahwa surah tersebut turun membawa rahmat Ilahi. Dengan demikian
masing-masing membawa makana yang berbeda.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang menguasai
hari pembalasan”
مَالِكِ mimnya bisa dibaca
panjang maupun pendek, kalau panjang artinya pemilik bersifat mutlak atau
absolut bila pendek artinya raja. Seorang pemilik belum tentu menjadi raja,
sebaliknya pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang
bukan raja. Kata “raja” biasanya digunakan untuk menyebut penguasa atas
manusia, sedang kata “pemilik” untuk penguasa atas harta benda yangtidak
bernyawa. Dalam Al-Qur’an banyak
ayat-ayat yang menegaskan hal ini, antara lain:
وَلَهُ الْمُلْكُ يَوْمَ يُنفَخُ فِي الصُّورِ
“Dan bagi-Nya
kerajaan (kekuasaan) pada hari ditiup sangkakala.” (Q.S 6:73)
الْمُلْكُ
يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
“Kerajaan pada
hari itu (kiamat) adalah milik Allah.” (Q.S 22:56)
Yaum dan Ad-din. Yaum
(يَوْمِ) biasa diterjemahkan hari. Kata ini terulang di dalam
Al-Qur’an sebanyak hari-hari dalam setahun (365 kali). Namun demikian tidak
semua kata tersebut mengandung arti yang sama dengan hari yang kita kenal dalam
kehidupan dunia ini. Al-Qur’an menggunakan kata yaum dalam arti “waktu”
atau “periode” yang terkadang sangat panjang menurut ukuran kita.
Kata ad-din (الدِّينِ) dalam ayat ini diartikan sebagai “pembalasan” atau
“perhitungan”, atau “ketaatan”, karena pada “hari” itu terjadi perhitungan dan
pembalasan Allah, karena ketika itu semua makhluk tanpa kecuali menampakkan
ketaatannya kepada Allah dalam bentuk yang sangat nyata. Para ulama itu membagi
balasan (ganjaran) Tuhan menjadi balasan (ganjaran) duniawi dan ukhrawi.
Pembalasan duniawi diberikan Allah secara kolektif yang menaati hukum-hukum Tuhan yang
berkaitan dengan alam dan kemasyarakatan.
Balasan ukhrawi tidak
bersifat kolektif tetapi orang per orang dan hari pembalasan yang
dimaksud dalam ayat keempat surah ini adalah hari pembalasan untuk orang per
orang itu. Pendapat ini didukung oleh firman Allah:
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا
“Dan tiap-tiap mereka
(makhluk yang ada di langit dan di bumi) akan dating kepada-Nya pada hari
kiamat dengan sendiri-sendiri”.
Ayat empat di atas
menyatakan bahwa Allah adalah Pemilik (Raja) di hari kemudian. Paling tidak ada
dua makna yang dikandung oleh penegasan ini, yaitu:
Pertama, Allah
yang menentukan dan dia pula satu satunya yang mengetahui kapan tibanya hari
tersebut.
Kedua,
Allah menguasai segala sesuatu yang terjadi dan apapun yang terdapat ketika
itu. Kekuasaan-Nya yang sedemikian besar sampai- sampai jangankan bertindak
atau bersikap menentangnya, berbicara pun harus dengan seizing-Nya.
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Inilah
akidah menyeluruh yang bersumber dari keseluruhan akidah yang disebutkan di
muka surah ini. Maka, tidak ada ibadah kecuali kepada Allah dan tidak ada isti’anah
‘permohonan pertolongan’ kecuali kepada Allah juga.
Iyyaka
na’budu terdiri dari dua kata,
yaitu iyyaka dan na’budu. Kata na’budu biasa diterjemahkan
dengan “menyembah”, “mengabdi”, dan “taat”. Di dalam nama Abdullah, terdapat
kata ‘abd yang artinya sebagai “hamba”. Iyyaka akan bernilai
bila:
1.
Niat
karena Ridho Allah
2.
Profesional
bekerja
3.
Pemanfaatan
hasil di jalan Allah.
Didahulukannya kata iyyaka
atas kata na’budu dimaksudkan untuk memberi penekanan terhadap
bentuk dan hakikat pengabdian tersebut. Penekanan ini mengantar kepada makna “pengkhususan”,
dalam arti “hanya kepada-Mu kami mengabdi”.Pengabdian yang dimaksud dalam ayat
lima tidak terbatas pada hal-hal yang diungkapkan oleh ahli hukum Islam (fiqh)
yakni shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi mencakup segala macam aktivitas
manusia, yang pasif maupun yang aktif, sepanjang tujuan dari setiap gerak dan
langkah itu adalah Allah.
وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
“dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Jika
anda memohon bantuan, maka berarti bahwa oleh satu dan lain sebab, anda tidak
dapat atau terhalang untuk meraihs esuatu yang anda mohonkan itu, kecuali bila
dibantu. Tetapi permintaan ini tidak
berarti bahwa anda berlepas tangan atau menyerahkan sepenuhnya kepada siapa
yang anda mintai bantuan ia agar apa yang anda mohonkan terpenuhi. Dengan kata
lain, walau dengan permohonan bantuan, peran aktif si pemohon dalam batas-batas
kemampuannya masih tetap dituntut. Dari penjelasan tentang arti iisti’anah
(permohonan bantuan) seperti yang dikemukakan ini, maka wa iyyaka nasta’in mengandung
dua konsekuensi pokok.
Pertama,bahwa si pemohon harus berperan aktif bersama dengan
siapa yang kepadanya ia bermohon demi tercapainya apa yang dimohonkan.
Kedua,
si pemohon berjanji untuk tidak meminta bantuan kecuali kepada Allah
semata-mata.
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus”
Kata
ihdina diambil dari kata hada, hidayah, yang biasa diterjemahkan
dengan petunjuk. Kata ini oleh pakar-pakar diartikan sebagai “sesuatu
yang menunjukkan (mengantar) kepada apa yang diharapkan”. Biasanya sesuatu
(petunjuk) itu disamoaikan secara lemah lembut.
Petunjuk
atau hidayat Allah beraneka ragam dan bertingkat-tingkat: Pertama, anugerah-Nya
yang berbentuk naluri yang diperoleh sejak kelahiran; Kedua,
yaitu panca indera; Ketiga, yaitu akal; Keempat yaitu agama, di
bagi dua yaitu kebahagian dunia dan akhirat.
Kata
sirath berasal dari kata saratha . Pertemuan
antara huruf Sin dan Ra dapat melahirkan bunyi yang
berbeda-beda. Kata saratha yang merupakan asal kata shirath berarti
“menelan”. Kata “telan” menggambarkan adanya “jalan yang luas” yang dilalui
oleh sesuatu yang ditelan itu. Sedemikian luas jalan tersebut, sehingga ia seakan-akn menelan para pejalan yang
lalu-lalang di sana.
Shirath
(jalan luas) yang dimohonkan itu,
adalah yang mustaqim. Kata mustaqim terambil dari kata qama/yaqumu
yang arti asalnya adalah “mengandalkan kekuatan betis dan memegangnya
secara teguh sampai bisa berdiri tegak lurus”. Dalam ayat enam yang diharapkan
bukan saja petunjuk jalan “yang luas” tetapi juga yang “lurus”, karena apabila
ia hanya luas tetapi ia tidak lurus maka
mungkin perjalanan itu akan panjang dan
lama untuk ditempuh. Jalan lurus, adalah jalan yang terdekat mengantar
seseorang sampai ke tujuan. Jadi, jalan luas lagi lurus adalah segala jalan
yang mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلاَالضَّآلِّينَ
”(yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
Kata shirath telah
diuraikan di atas. Maka kata an ‘amta, kata ini bentuk dari kata ni’mah
yang menurut pengertian asalnya berarti “kelebihan” atau “persembahan”. Seperti
yang anda tadinya tidak memiliki sesuatu, kemudian memperoleh sesuatu itu. Ini
adalah “penambahan” atau “kelebihan” jika dilihat dari keadaan anda sebelumnya.
Dan itulah yang dinamai oleh bahasa agama sebagai “nikmat”.
Kata
“nikmat” yang dimaksud ayat terakhir Al-Fatihah adalah nikmat yang paling
bernilai yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat lainnnya tidak akan mempunyai
nilai yang berarti. Nikmat tersebut adalah “nikmat agama”, nikmat ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang yang di beri nikamt adalah para Nabi
atau Rasul, Syuhada’, orang-orang sholih, dan ulama.
Al-Maghdhub
berasal dari kata ghadhab yang dalam berbagai bentuknya memiliki keragaman
makna, namun kesemuanya memberikan kesan “keras, kokh dan tegas”. Singa,
banteng, batu gunung, sesuatu yang merah padam (ingat wajah yang merah padam),
kesemuanya digambarkan melalui akar kata ghadhab. Jadi al-ghadhab adalah
sikap keras, tegas, kokah, dan sukar tergoyahkan yang diperankan oleh pelakunya
terhadap suatu objek.
Tentang siapakah Al-Maghdhub ‘alaihim itu,
ayat ini tidak menjelaskannya. Sementara ulama tafsir menyatakan bahwa mereka
adalah orang-orang Yahudi. Kata adh-dhalin berasal dari kata dhalla-yadhillu
yang menurut bahasa berarti “kehilangan jalan, bingung, tidak mengetahui arah”.
Makna-makna tersebut berkembang menjadi “binasa, terkubur”, dan diartikan dalam
konteks imaterial sebagai “sesat dari
jalan kebajikan”, atau lawan kata “petunjuk”. Orang-orang yang dimurkai Allah
yaitu Yahudi, Nashrani, dan Majusi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Fatihah mengandung
pokok-pokok kandungan Al-Qur’an secara global, sedang semua ayat Al-Qur’an
selainnya merupakan perincian-perincian pokok-pokok tersebut. Pokok-pokok
kandungan surah Al-Fatihah yaitu; tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan
ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah juga pada ayat
kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah masa lalu diisyaratkan oleh ayat
terakhir.
B. Referensi
Tambahan
Quraish
Shihab. Muhammad,1997, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir Atas Surat-Surat
Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayat
Quth.
Sayyid, 2005, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an (Surat
Al-Faatihah-Al-Baqarah) Jilid 1, Jakarta: Gema insani
1.
2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar